Pages

Powered By Blogger

Jumat, 29 Oktober 2010

Darah dan Air Mata buat Sepak Bola Indonesia

Melihat perkembangan sepak bola nasional Indonesia sekarang ini, intinya seperti melihat panggung teater dengan nuansa teatrikal budaya kedaerahan. Aktor beserta kepiawaiannya menjalankan peranan masing masing dengan kebanggaan retorika demi kecintaan terhadap sepakbola.

Genderang perang selalu ditabuh. Kondisi ini tak ubahnya politisi yang selalu mempunyai kepentingan masing-masing terhadap kelompok, golongan, dan kepentingan pribadi sehingga asas keterbukaan, transparansi, profesionalisme dikorbankan. Pengembangan pembinaan usia muda pun terabaikan. Dengan itu semua, landasan fondasi sepak bola modern belum terselenggarakan dengan baik di Indonesia.

Sepak bola Indonesia masih dalam pemikiran dan paradigma kepentingan jangka pendek. Budaya menang atau kalah sangat dipersoalkan. Etika untuk mencapai menang diabaikan sehingga kompetisi berjalan sesuai skenario yang telah ditentukan. Semua itu dilakukan demi keuntungan materi dan publisitas tim dan pengurus. Alasan komersialisasi dan peranan sponsor serta aktifnya agen-agen pemain asing di Indonesia membuat bakat-bakat muda tidak terasah di kompetisi.

Sementara itu, banyak pemain asing main bersamaan di klub dalam posisi strategis sebagai penyerang, pemain tengah, dan bek tengah. Akibatnya, tim nasional kesulitan melakukan regenerasi pemain di posisi tersebut. Pemain usia muda pun tidak diberikan kesempatan bermain penuh di dalam kompetisi Liga Nasional. Mereka akhirnya tidak mendapatkan pengalaman bertanding secara optimal. Satu dinamika postif yang tecermin di masyarakat kita adalah kecintaan mereka terhadap timnas Indonesia. Mereka sangat semangat dan mendukung penuh dengan segala harapan menjadikan timnas bersaing di pentas internasional.

Penyebab yang kompleks

Kompleksitas persoalan utama sepak bola nasional kita terletak pada keseriusan pengurus untuk menciptakan kompetisi pembinaan usia muda yang berkualitas. Tidak ketinggalan, hanya ada sedikit sumber daya profesional yang edukatif dan bisa menyelenggarakan kompetisi pembinaan usia muda secara transparan dan bebas kepentingan. Seharusnya, hal itu didukung penuh oleh pihak federasi demi pengembangan usia muda.

Tempo dahulu, pendidikan dan pelatihan (diklat) di kantong-kantong pemain di daerah menghasilkan atlet yang berkualitas. Keberhasilan tersebut didukung anggaran pendidikan formal oleh pemerintah dan kompetisi yang terselenggarakan dengan baik. Kompetisi yang didukung oleh infrastruktur yang baik dan pendidikan formal yang baik bisa berjalan paralel sehingga menghasilkan atlet-atlet unggulan di bidangnya dan cerdas secara pemikiran. Dengan demikian pula, Indonesia bisa bersaing di kompetisi internasional.

Diklat sekarang tidak mempunyai anggaran yang memadai sehingga sulit bagi siswa dan atlet untuk berkembang. Diklat dengan anggaran dan infrastruktur memadai yang seharusnya bisa dijadikan feeder buat timnas usia muda sudah tidak bisa lagi menjadi tolok ukur di level nasional. Kini, tidak ada rencana yang baik dalam pembinaan usia muda di dalam kompetisi yang serius dari PSSI. Kondisi inilah yang menciptakan kegagalan regenerasi pemain, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional.

Ditambah dengan kondisi bahwa anggaran pemerintah terbatas buat pendidikan dan olahraga, infrastruktur sepak bola di daerah daerah terabaikan. Kalaupun ada, tidak dikelola dengan baik dan profesional. Prestasi sepak bola nasional pun berada di titik terendah sekarang ini. (Iman Arif, Ketua Badan Tim Nasional Indonesia)

Kapan Lagu Indonesia Raya bisa berkumandang di Piala Dunia.

0 komentar:

Posting Komentar